Senin, 02 Mei 2016

Kamis, 28 April 2016

METODOLOGI PENELITIAN
 MERAJALELA NYA PENGEMIS DI BANDA ACEH
          
Kemiskinan bukanlah hal yang mudah, masalah ini cukup sulit dan merupakan masalah umum dari hampir semua negara-negara berkembang di dunia ini. Di Indonesia sendiri jumlah pengemis sangatlah besar. Pengemis sangat mudah kita temukan di setiap sudut kota. Baik di setiap persimpangan/lampu merah maupun setiap warung - warung kopi. Namun saat ini yang menjadi objek penelitian saya adalah  pengemis yang berada di Kota Banda Aceh dan sekitarnya.

Setelah melakukan penelitian, pengemis-pengemis tersebut dapat dibedakan kepada 2 golongan, yaitu : 
1.  “Cacat” fisik, yang tidak mampu, tidak produktif secara ekonomi, dan
2.   Pengemis yang sehat fisik atau tidak cacat, dan berkemampuan produktif secara ekonomi.

Bagi yang pengemis pertama mungkin kita bisa memkluminya dengan alasan karna ketidakmampuannya itu. Namun, bagi pengemis yang kategori kedua, dia bahkan menjadikan pengemis itu sebagai profesi atau sebuah pekerjaan tetap, karna menurut saya itu karena “ kemalasan yang berkepanjangan “.

Saya mengamati beberapa orang pengemis, ketika berangkat kekampus, dan melihat seorang ibu – ibu buta yang duduk dipangkal jembatan lamnyong dari arah kota di bawah teriknya matahari. Saya berfikir, mana mungkin ada orang yang mau berhenti untuk memberikan sumbangan dijalan yang ramai. Melewati jembatannya saja sudah sulit, apalagi berhenti untuk memberikan sumbangan.

Menjelang sore, saya melihat pengemis itu berdiri tanpa kesulitan sedikit pun, sangat lah berbeda disaat saya melihat ibu itu sebelumnya yang tidak berdaya. Setelah melihat kejadian itu, timbullah rasa yang sangat kecewa. Karena percaya dengan tipu daya si ibu tersebut.

Di  hari yang lain ketika sepulangnya saya dari terminal Batoh,  terdapat seorang ibu sambil menggendong anak kecil dalam pangkuannya.Sang ibu memakai kerudung, sedangkan si anak tidak. Setelah melewati mereka, hati saya berkecamuk kecam. Sungguh tega sang ibu membiarkan anaknya terpapar matahari.
            Sungguh bocah itu sangat terancam masa depannya. Dia tidak mendapat kan layak nya bocah yang lainnya, yang penuh kasih sayang dari orang tua. Dari kecil saja dia sudah tidak mendapatkan hak sebagai anak, bagaimana untuk masa depannya.
            Rasanya tidak lah berlebihan, jika saya katakan “ mereka dilahirkan sebagai alat untuk  mengemis “. Kata – kata ini pantas, karena apabila dikaitkan dengan hadist Nabi “ Setiap anak dilahirkan adalah suci, dan sebuah berkah “. Sebagai seorang manusia yang suci, harus diakui, namun nasib mereka yang sejak bayinya telah diajarkan meminta-minta, maka dari itu perlu adanya perhatian dari pemerintah, dan dinas sosial. Sebab bila mengharapkan kesadaran orangtuanya untuk tidak mendidiknya dengan cara mengemis, sampai kiamat pun tidak dihiraukan.
            Pemerintah memiliki wewenang dalam mengatasi masalah pengemis, tentunya harus membuat peraturan baru demi menciptakan yang terbaik bagi mereka. . Sekarang ini, banyaknya pengemis dilakukan seorang ibu, bapak dan bahkan sekeluarga untuk meminta-minta yang melibatkan keikutsertaan anak mereka,itu hal memperihatinkan sekali. Tentu jika ini dibiarkan, satu atau dua tahun ke depan, jalan raya, dan perempatan lalu lintas akan dipenuhi oleh pengemis-pengemis. Dengan demikian, pengemis di aceh ini tidak bakalan habis. Permasalahan ini juga menjadi penilaian terhadap kesuksesan pemerintah di masa kepemimpinannya.
Maka dari itu, perlunya pertimbangan dari dinas sosial Aceh dalam menagani kasus ini. Saya menyarankan kepada pemerintah yang berwenang menangkap para pengemis yang berkeliaran di jalan raya, rambu lalu lintas dan di warung – warung kopi.
Tetapi tidak terhenti di situ saja, pemerintah harus membuat program pendidikan khusus bagi anak-anak yang selama ini telah diajarkan orangtuanya untuk mengemis. Agar mereka dapat mengecap dunia pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar