METODOLOGI PENELITIAN
MERAJALELA NYA PENGEMIS DI BANDA ACEH
Kemiskinan bukanlah
hal yang mudah, masalah ini cukup sulit dan merupakan masalah umum dari hampir
semua negara-negara berkembang di dunia ini. Di Indonesia sendiri jumlah
pengemis sangatlah besar. Pengemis
sangat mudah kita temukan di setiap sudut kota. Baik di setiap
persimpangan/lampu merah maupun setiap warung - warung kopi. Namun saat ini yang
menjadi objek penelitian saya adalah pengemis yang berada di
Kota Banda Aceh dan sekitarnya.
Setelah melakukan
penelitian, pengemis-pengemis tersebut dapat dibedakan kepada 2 golongan, yaitu
:
1. “Cacat” fisik, yang tidak mampu, tidak produktif secara ekonomi, dan
2. Pengemis yang sehat fisik atau tidak cacat, dan berkemampuan
produktif secara ekonomi.
Bagi yang pengemis pertama mungkin kita bisa
memkluminya dengan alasan karna ketidakmampuannya itu. Namun, bagi pengemis
yang kategori kedua, dia bahkan menjadikan pengemis itu sebagai profesi atau
sebuah pekerjaan tetap, karna menurut saya itu karena “ kemalasan yang
berkepanjangan “.
Saya mengamati beberapa orang pengemis, ketika berangkat
kekampus, dan melihat seorang ibu – ibu buta yang duduk dipangkal jembatan
lamnyong dari arah kota di bawah teriknya matahari. Saya berfikir, mana mungkin ada orang yang mau
berhenti untuk memberikan sumbangan dijalan yang ramai. Melewati jembatannya
saja sudah sulit, apalagi berhenti untuk memberikan sumbangan.
Menjelang sore, saya melihat pengemis itu berdiri
tanpa kesulitan sedikit pun, sangat lah berbeda disaat saya melihat ibu itu
sebelumnya yang tidak berdaya. Setelah melihat kejadian itu, timbullah rasa yang
sangat kecewa. Karena percaya dengan tipu daya si ibu tersebut.
Di hari yang lain ketika sepulangnya saya dari
terminal Batoh, terdapat seorang ibu
sambil menggendong anak kecil dalam pangkuannya.Sang ibu memakai kerudung, sedangkan si anak tidak.
Setelah melewati mereka, hati saya berkecamuk kecam. Sungguh tega sang ibu
membiarkan anaknya terpapar matahari.
Sungguh bocah itu sangat terancam
masa depannya. Dia tidak mendapat kan layak nya bocah yang lainnya, yang penuh
kasih sayang dari orang tua. Dari kecil saja dia sudah tidak mendapatkan hak
sebagai anak, bagaimana untuk masa depannya.
Rasanya tidak lah berlebihan, jika
saya katakan “ mereka dilahirkan sebagai alat untuk mengemis “. Kata – kata ini pantas, karena
apabila dikaitkan dengan hadist Nabi “ Setiap anak dilahirkan adalah suci, dan
sebuah berkah “. Sebagai seorang manusia yang suci, harus diakui, namun nasib
mereka yang sejak bayinya telah diajarkan meminta-minta, maka dari itu perlu
adanya perhatian dari pemerintah, dan dinas sosial. Sebab bila mengharapkan
kesadaran orangtuanya untuk tidak mendidiknya dengan cara mengemis, sampai
kiamat pun tidak dihiraukan.
Pemerintah memiliki wewenang dalam
mengatasi masalah pengemis, tentunya harus membuat peraturan baru demi
menciptakan yang terbaik bagi mereka. . Sekarang ini, banyaknya pengemis
dilakukan seorang ibu, bapak dan bahkan sekeluarga untuk meminta-minta yang
melibatkan keikutsertaan anak mereka,itu hal memperihatinkan sekali. Tentu jika ini dibiarkan, satu atau dua tahun ke
depan, jalan raya, dan perempatan lalu lintas akan dipenuhi oleh
pengemis-pengemis. Dengan demikian, pengemis di aceh ini tidak bakalan habis.
Permasalahan ini juga menjadi penilaian terhadap kesuksesan pemerintah di masa
kepemimpinannya.
Maka dari itu, perlunya pertimbangan dari dinas sosial
Aceh dalam menagani kasus ini. Saya menyarankan kepada pemerintah yang
berwenang menangkap para pengemis yang berkeliaran di jalan raya, rambu lalu
lintas dan di warung – warung kopi.
Tetapi tidak terhenti di situ saja, pemerintah harus
membuat program pendidikan khusus bagi anak-anak yang selama ini telah diajarkan
orangtuanya untuk mengemis. Agar mereka dapat mengecap dunia pendidikan.